Nih Sejarah Perkembangan Buku Di Dunia Dan Indonesia
Apa itu Buku, Buku yaitu kumpulan kertas atau materi lainnya yang dijilid menjadi satu pada salah satu ujungnya dan berisi goresan pena atau gambar. Setiap sisi dari sebuah lembaran kertas pada buku disebut sebuah halaman. Seiring dengan perkembangan dalam bidang dunia informatika, kini dikenal pula istilah e-book atau buku-e (buku elektronik), yang mengandalkan komputer dan Internet (jika aksesnya online).
Sejarah Perkembangan Buku
Pada zaman kuno, tradisi komunikasi masih mengandalkan lisan. Penyampaian informasi, cerita-cerita, nyanyian, do’a-do’a, maupun syair, disampaikan secara lisan dari verbal ke mulut. Karenanya, hafalan merupakan ciri yang menandai tradisi ini. Semuanya dihafal. Kian hari, kian banyak saja hal-hal yang musti dihafal. Saking banyaknya, sehingga balasannya mereka kuwalahan alias tidak bisa menghafalkannya lagi. Hingga, terpikirlah untuk menuangkannya dalam tulisan. Maka, lahirlah apa yang disebut sebagai buku kuno.
Buku kuno ketika itu, belum berupa goresan pena yang tercetak di atas kertas modern ibarat kini ini, melainkan tulisan-tulisan di atas keping-keping watu (prasasti) atau juga di atas kertas yang terbuat dari daun papyrus. Papyrus yaitu flora sejenis alang-alang yang banyak tumbuh di tepi Sungai Nil.
Mesir merupakan bangsa yang pertama mengenal goresan pena yang disebut hieroglif. Tulisan hieroglif yang diperkenalkan bangsa Mesir Kuno bentuk hurufnya berupa gambar-gambar. Mereka menuliskannya di batu-batu atau pun di kertas papyrus. Kertas papyrus bertulisan dan berbentuk gulungan ini yang disebut sebagi bentuk awal buku atau buku kuno.
Selain Mesir, bangsa Romawi juga memanfaatkan papyrus untuk menciptakan tulisan. Panjang gulungan papyrus itu adakala mencapai puluhan meter. Hal ini sungguh merepotkan orang yang menulis maupun yang membacanya. Karena itu, gulungan papyrus ada yang dipotong-potong. Papyrus terpanjang terdapat di British Museum di London yang mencapai 40,5 meter.
Kesulitan memakai gulungan papyrus, di kemudian hari mengantarkan perkembangan bentuk buku mengalami perubahan. Perubahan itu selaras dengan fitrah insan yang menginginkan kemudahan. Dengan akalnya, insan terus berpikir untuk mengadakan peningkatan dalam peradaban kehidupannya. Maka, pada awal kurun pertengahan, gulungan papyrus digantikan oleh lembaran kulit domba terlipat yang dilindungi oleh kulit kayu yang keras yang dinamakan codex.
Perkembangan selanjutnya, orang-orang Timur Tengah memakai kulit domba yang disamak dan dibentangkan. Lembar ini disebut pergamenum yang kemudian disebut perkamen, artinya kertas kulit. Perkamen lebih berpengaruh dan lebih gampang dipotong dan dibuat berlipat-lipat sehingga lebih gampang digunakan. Inilah bentuk awal dari buku yang berjilid.
Di Cina dan Jepang, perubahan bentuk buku gulungan menjadi buku berlipat yang diapit sampul berlangsung lebih cepat dan lebih sederhana. Bentuknya ibarat lipatan-lipatan kain korden.
Buku-buku kuno itu semuanya ditulis tangan. Awalnya yang banyak diterbitkan yaitu kitab suci, ibarat Al-Qur’an yang dibuat dengan ditulis tangan.
Di Indonesia sendiri, pada zaman dahulu, juga dikenal dengan buku kuno. Buku kuno itu ditulis di atas daun lontar. Daun lontar yang sudah ditulisi itu kemudian dijilid hingga membentuk sebuah buku.
Perkembangan perbukuan mengalami perubahan signifikan dengan diciptakannya kertas yang hingga kini masih dipakai sebagai materi baku penerbitan buku. Pencipta kertas yang memicu lahirnya era gres dunia perbukuan itu berjulukan Ts’ai Lun. Ts’ai Lun berkebangsaan Cina. Hidup sekitar tahun 105 Masehi pada zaman Kekaisaran Ho Ti di daratan Cina.
Penemuan Ts’ai Lun telah mengantarkan bangsa Cina mengalami kemajuan. Sehingga, pada kurun kedua, Cina menjadi pengekspor kertas satu-satunya di dunia.
Sebagai tindak lanjut inovasi kertas, inovasi mesin cetak pertama kali merupakan tahap perkembangan selanjutnya yang signifikan dari dunia perbukuan. Penemu mesin cetak itu berkebangsaan Jerman berjulukan Johanes Gensleich Zur Laden Zum Gutenberg.
Gutenberg telah berhasil mengatasi kesulitan pembuatan buku yang dibuat dengan ditulis tangan. Gutenberg menemukan cara pencetakan buku dengan huruf-huruf logam yang terpisah. Huruf-huruf itu bisa dibuat menjadi kata atau kalimat. Selain itu, Gutenberg juga melengkapi ciptaannya dengan mesin cetak. Namun, tetap saja untuk menuntaskan satu buah buku diharapkan waktu agak usang lantaran mesinnya kecil dan jumlah abjad yang dipakai terbatas. Kelebihannya, mesin Gutenberg bisa meniru cetakan dengan cepat dan jumlah yang banyak.
Gutenberg memulai pembuatan mesin cetak pada kurun ke-15. Teknik cetak yang ditemukan Gutenberg bertahan hingga kurun ke-20 sebelum balasannya ditemukan teknik cetak yang lebih sempurna, yakni pencetakan offset, yang ditemukan pada pertengahan kurun ke-20.
2. Buku di Era Modern
Di era modern kini ini perkembangan teknologi semakin canggih. Mesin-mesin offset raksasa yang bisa mencetak ratusan ribu eksemplar buku dalam waktu singkat telah dibuat. Hal itu diikuti pula dengan inovasi mesin komputer sehingga memudahkan untuk setting (menyusun huruf) dan lay out (tata letak halaman). Diikuti pula inovasi mesin penjilidan, mesin pemotong kertas, scanner (alat pengkopi gambar, ilustrasi, atau teks yang bekerja dengan sinar laser hingga bisa diolah melalui computer), dan juga printer laser (alat pencetak yang memakai sumber sinar laser untuk menulis pada kertas yang kemudian di taburi serbuk tinta).
Semua inovasi menakjubkan itu telah mengakibatkan buku-buku kini ini gampang dicetak dengan sangat cepat, dijilid dengan sangat bagus, serta hasil cetakan dan desain yang sangat elok pula. Tak mengherankan bila kini ini kita dapati banyak sekali buku terbit silih berganti dengan penampilan yang semakin menarik.
Bahkan hingga kini ini pun, di negara kita Indonesia, kendati sedang diterpa krisis, kondisi ekonomi masih gonjang-ganjing, tapi penerbit-penerbit buku malahan bermunculan. Banyak sekali jumlahnya, hingga tak terhitung, alasannya tak tersedia data yang sanggup dipertanggungjawabkan. Tidak juga di Ikatan Penerbit Indonesia [IKAPI]. Sebab tidak semua penerbit bergabung dengan forum ini.
Namun, dari pengamatan sekilas saja, kita akan sanggup segera menyimpulkan, betapa penerbit-penerbit buku dikala ini semakin banyak saja jumlahnya. Tengoklah, di toko-toko buku yang ada di banyak sekali kota di negeri ini, maka akan kita jumpai, berderet-deret bahkan bertumpuk-tumpuk buku-buku gres terbit silih berganti kolam ekspresi dominan semi dengan bermacam-macam judul dan beraneka desain sampul yang menawan dari banyak sekali penerbit, baik dari penerbit besar yang sudah mapan dan lebih dulu eksis, maupun dari penerbit kecil yang gres merintis dan masih kembang-kempis.
Animo masyarakat pun terhadap buku nampak juga mengalami peningkatan. Ini nampak dari banyaknya buku-buku bestseller yang laku manis diserbu masyarakat.
Memang, dibanding dengan jumlah penduduk Indonesia yang nyaris 200 juta orang, sungguh mengherankan bahwa sebuah judul buku yang laku beberapa ribu saja sudah terasa menyenangkan dan dianggap bestseller. Akan tetapi, kondisi ini tentu jauh lebih baik bila dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya.
Bagi seorang muslim da’i yang mempunyai kesepakatan dengan dakwah, kondisi di atas akan dimanfaatkan untuk kepentingan dakwah. Menulis buku-buku bernuansa dakwah yaitu pilihan yang sudah selayaknya untuk dilakukan. Agar buku benar-benar bermetamorfosis fungsinya sebagai pencerdas dan pencerah umat, bukan sebaliknya.
Sejarah Adanya Penerbitan Buku di Indonesia
Di Indonesia, awalnya bentuk buku masih berupa gulungan daun lontar. Menurut Ajib Rosidi (sastrawan dan mantan ketua IKAPI), secara garis besar, perjuangan penerbitan buku di Indonesia dibagi dalam tiga jalur, yaitu perjuangan penerbitan buku pelajaran, perjuangan penerbitan buku bacaan umum (termasuk sastra dan hiburan), dan perjuangan penerbitan buku agama.
Pada masa penjajahan Belanda, penulisan dan penerbitan buku sekolah dikuasai orang Belanda. Kalaupun ada orang pribumi yang menulis buku pelajaran, umumnya mereka hanya sebagai pembantu atau ditunjuk oleh orang Belanda.
Usaha penerbitan buku agama dimulai dengan penerbitan buku-buku agama Islam yang dilakukan orang Arab, sedangkan penerbitan buku –buku agama Nasrani umumnya dilakukan oleh orang-orang Belanda.
Penerbitan buku bacaan umum berbahasa Melayu pada masa itu dikuasai oleh orang-orang Cina. Orang pribumi hanya bergerak dalam perjuangan penerbitan buku berbahasa daerah. Usaha penerbitan buku bacaaan yang murni dilakukan oleh pribumi, yaitu mulai dari penulisan hingga penerbitannya, hanya dilakukan oleh orang-orang Sumatera Barat dan Medan. Karena khawatir dengan perkembangan perjuangan penerbitan tersebut, pemerintah Belanda kemudian mendirikan penerbit Buku Bacaan Rakyat. Tujuannya untuk mengimbangi perjuangan penerbitan yang dilakukan kaum pribumi. Pada tahun 1908, penerbit ini diubah namanya menjadi Balai Pustaka. Hingga jepang masuk ke Indonesia, Balai Pustaka belum pernah menerbitkan buku pelajaran lantaran bidang ini dikuasai penerbit swasta belanda.
Sekitar tahun 1950-an, penerbit swasta nasional mulai bermunculan. Sebagian besar berada di pulau Jawa dan selebihnya di Sumatera. Pada awalnya, mereka bermotif politis dan idealis. Mereka ingin mengambil alih dominasi para penerbit Belanda yang sesudah penyerahan kedaulatan di tahun 1950 masih diijinkan berusaha di Indonesia.
Pada tahun 1955, pemerintah Republik Indonesia mengambil alih dan menasionalisasi semua perusahaan Belanda di Indonesia. Kemudian pemerintah berusaha mendorong pertumbuhan dan perkembangan perjuangan penerbitan buku nasional dengan jalan memberi subsidi dan materi baku kertas bagi para penerbit buku nasional sehingga penerbit diwajibkan menjual buku-bukunya denga harga murah.
Pemerintah kemudian mendirikan Yayasan Lektur yang bertugas mengatur proteksi pemerintah kepada penerbit dan mengendalikan harga buku. Dengan adanya yayasan ini, pertumbuhan dan perkembangan penerbitan nasional sanggup meningkat denganc epat. Menurut Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) yang didirikan 1950, penerbit yang menjadi anggota IKAPI yang semula berjumlah 13 pada tahun 1965 naik menjadi 600-an lebih.
Pada tahun 1965 terjadi perubahan situasi politik di tanah air. Salah satu akhir dari perubahan itu yaitu keluarnya kebijakan gres pemerintah dalam bidang politik, ekonomi dan moneter. Sejak simpulan tahun 1965, subsidi bagi penerbit dihapus. Akibatnya, lantaran hanya 25% penerbit yang bertahan, situasi perbukuan mengalami kemunduran.
Sementara itu, pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mashuri, kemudian menetapkan bahwa semua buku pelajar.
Referensi:
http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20090616211159AAWFeaJ
http://www.penulissukses.com/penulis12.php
http://id.wikipedia.org/wiki/Buku
Sejarah Perkembangan Buku
Pada zaman kuno, tradisi komunikasi masih mengandalkan lisan. Penyampaian informasi, cerita-cerita, nyanyian, do’a-do’a, maupun syair, disampaikan secara lisan dari verbal ke mulut. Karenanya, hafalan merupakan ciri yang menandai tradisi ini. Semuanya dihafal. Kian hari, kian banyak saja hal-hal yang musti dihafal. Saking banyaknya, sehingga balasannya mereka kuwalahan alias tidak bisa menghafalkannya lagi. Hingga, terpikirlah untuk menuangkannya dalam tulisan. Maka, lahirlah apa yang disebut sebagai buku kuno.
Buku kuno ketika itu, belum berupa goresan pena yang tercetak di atas kertas modern ibarat kini ini, melainkan tulisan-tulisan di atas keping-keping watu (prasasti) atau juga di atas kertas yang terbuat dari daun papyrus. Papyrus yaitu flora sejenis alang-alang yang banyak tumbuh di tepi Sungai Nil.
Mesir merupakan bangsa yang pertama mengenal goresan pena yang disebut hieroglif. Tulisan hieroglif yang diperkenalkan bangsa Mesir Kuno bentuk hurufnya berupa gambar-gambar. Mereka menuliskannya di batu-batu atau pun di kertas papyrus. Kertas papyrus bertulisan dan berbentuk gulungan ini yang disebut sebagi bentuk awal buku atau buku kuno.
Selain Mesir, bangsa Romawi juga memanfaatkan papyrus untuk menciptakan tulisan. Panjang gulungan papyrus itu adakala mencapai puluhan meter. Hal ini sungguh merepotkan orang yang menulis maupun yang membacanya. Karena itu, gulungan papyrus ada yang dipotong-potong. Papyrus terpanjang terdapat di British Museum di London yang mencapai 40,5 meter.
Kesulitan memakai gulungan papyrus, di kemudian hari mengantarkan perkembangan bentuk buku mengalami perubahan. Perubahan itu selaras dengan fitrah insan yang menginginkan kemudahan. Dengan akalnya, insan terus berpikir untuk mengadakan peningkatan dalam peradaban kehidupannya. Maka, pada awal kurun pertengahan, gulungan papyrus digantikan oleh lembaran kulit domba terlipat yang dilindungi oleh kulit kayu yang keras yang dinamakan codex.
Perkembangan selanjutnya, orang-orang Timur Tengah memakai kulit domba yang disamak dan dibentangkan. Lembar ini disebut pergamenum yang kemudian disebut perkamen, artinya kertas kulit. Perkamen lebih berpengaruh dan lebih gampang dipotong dan dibuat berlipat-lipat sehingga lebih gampang digunakan. Inilah bentuk awal dari buku yang berjilid.
Di Cina dan Jepang, perubahan bentuk buku gulungan menjadi buku berlipat yang diapit sampul berlangsung lebih cepat dan lebih sederhana. Bentuknya ibarat lipatan-lipatan kain korden.
Buku-buku kuno itu semuanya ditulis tangan. Awalnya yang banyak diterbitkan yaitu kitab suci, ibarat Al-Qur’an yang dibuat dengan ditulis tangan.
Di Indonesia sendiri, pada zaman dahulu, juga dikenal dengan buku kuno. Buku kuno itu ditulis di atas daun lontar. Daun lontar yang sudah ditulisi itu kemudian dijilid hingga membentuk sebuah buku.
Perkembangan perbukuan mengalami perubahan signifikan dengan diciptakannya kertas yang hingga kini masih dipakai sebagai materi baku penerbitan buku. Pencipta kertas yang memicu lahirnya era gres dunia perbukuan itu berjulukan Ts’ai Lun. Ts’ai Lun berkebangsaan Cina. Hidup sekitar tahun 105 Masehi pada zaman Kekaisaran Ho Ti di daratan Cina.
Penemuan Ts’ai Lun telah mengantarkan bangsa Cina mengalami kemajuan. Sehingga, pada kurun kedua, Cina menjadi pengekspor kertas satu-satunya di dunia.
Sebagai tindak lanjut inovasi kertas, inovasi mesin cetak pertama kali merupakan tahap perkembangan selanjutnya yang signifikan dari dunia perbukuan. Penemu mesin cetak itu berkebangsaan Jerman berjulukan Johanes Gensleich Zur Laden Zum Gutenberg.
Gutenberg telah berhasil mengatasi kesulitan pembuatan buku yang dibuat dengan ditulis tangan. Gutenberg menemukan cara pencetakan buku dengan huruf-huruf logam yang terpisah. Huruf-huruf itu bisa dibuat menjadi kata atau kalimat. Selain itu, Gutenberg juga melengkapi ciptaannya dengan mesin cetak. Namun, tetap saja untuk menuntaskan satu buah buku diharapkan waktu agak usang lantaran mesinnya kecil dan jumlah abjad yang dipakai terbatas. Kelebihannya, mesin Gutenberg bisa meniru cetakan dengan cepat dan jumlah yang banyak.
Gutenberg memulai pembuatan mesin cetak pada kurun ke-15. Teknik cetak yang ditemukan Gutenberg bertahan hingga kurun ke-20 sebelum balasannya ditemukan teknik cetak yang lebih sempurna, yakni pencetakan offset, yang ditemukan pada pertengahan kurun ke-20.
2. Buku di Era Modern
Di era modern kini ini perkembangan teknologi semakin canggih. Mesin-mesin offset raksasa yang bisa mencetak ratusan ribu eksemplar buku dalam waktu singkat telah dibuat. Hal itu diikuti pula dengan inovasi mesin komputer sehingga memudahkan untuk setting (menyusun huruf) dan lay out (tata letak halaman). Diikuti pula inovasi mesin penjilidan, mesin pemotong kertas, scanner (alat pengkopi gambar, ilustrasi, atau teks yang bekerja dengan sinar laser hingga bisa diolah melalui computer), dan juga printer laser (alat pencetak yang memakai sumber sinar laser untuk menulis pada kertas yang kemudian di taburi serbuk tinta).
Semua inovasi menakjubkan itu telah mengakibatkan buku-buku kini ini gampang dicetak dengan sangat cepat, dijilid dengan sangat bagus, serta hasil cetakan dan desain yang sangat elok pula. Tak mengherankan bila kini ini kita dapati banyak sekali buku terbit silih berganti dengan penampilan yang semakin menarik.
Bahkan hingga kini ini pun, di negara kita Indonesia, kendati sedang diterpa krisis, kondisi ekonomi masih gonjang-ganjing, tapi penerbit-penerbit buku malahan bermunculan. Banyak sekali jumlahnya, hingga tak terhitung, alasannya tak tersedia data yang sanggup dipertanggungjawabkan. Tidak juga di Ikatan Penerbit Indonesia [IKAPI]. Sebab tidak semua penerbit bergabung dengan forum ini.
Namun, dari pengamatan sekilas saja, kita akan sanggup segera menyimpulkan, betapa penerbit-penerbit buku dikala ini semakin banyak saja jumlahnya. Tengoklah, di toko-toko buku yang ada di banyak sekali kota di negeri ini, maka akan kita jumpai, berderet-deret bahkan bertumpuk-tumpuk buku-buku gres terbit silih berganti kolam ekspresi dominan semi dengan bermacam-macam judul dan beraneka desain sampul yang menawan dari banyak sekali penerbit, baik dari penerbit besar yang sudah mapan dan lebih dulu eksis, maupun dari penerbit kecil yang gres merintis dan masih kembang-kempis.
Animo masyarakat pun terhadap buku nampak juga mengalami peningkatan. Ini nampak dari banyaknya buku-buku bestseller yang laku manis diserbu masyarakat.
Memang, dibanding dengan jumlah penduduk Indonesia yang nyaris 200 juta orang, sungguh mengherankan bahwa sebuah judul buku yang laku beberapa ribu saja sudah terasa menyenangkan dan dianggap bestseller. Akan tetapi, kondisi ini tentu jauh lebih baik bila dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya.
Bagi seorang muslim da’i yang mempunyai kesepakatan dengan dakwah, kondisi di atas akan dimanfaatkan untuk kepentingan dakwah. Menulis buku-buku bernuansa dakwah yaitu pilihan yang sudah selayaknya untuk dilakukan. Agar buku benar-benar bermetamorfosis fungsinya sebagai pencerdas dan pencerah umat, bukan sebaliknya.
Sejarah Adanya Penerbitan Buku di Indonesia
Di Indonesia, awalnya bentuk buku masih berupa gulungan daun lontar. Menurut Ajib Rosidi (sastrawan dan mantan ketua IKAPI), secara garis besar, perjuangan penerbitan buku di Indonesia dibagi dalam tiga jalur, yaitu perjuangan penerbitan buku pelajaran, perjuangan penerbitan buku bacaan umum (termasuk sastra dan hiburan), dan perjuangan penerbitan buku agama.
Pada masa penjajahan Belanda, penulisan dan penerbitan buku sekolah dikuasai orang Belanda. Kalaupun ada orang pribumi yang menulis buku pelajaran, umumnya mereka hanya sebagai pembantu atau ditunjuk oleh orang Belanda.
Usaha penerbitan buku agama dimulai dengan penerbitan buku-buku agama Islam yang dilakukan orang Arab, sedangkan penerbitan buku –buku agama Nasrani umumnya dilakukan oleh orang-orang Belanda.
Penerbitan buku bacaan umum berbahasa Melayu pada masa itu dikuasai oleh orang-orang Cina. Orang pribumi hanya bergerak dalam perjuangan penerbitan buku berbahasa daerah. Usaha penerbitan buku bacaaan yang murni dilakukan oleh pribumi, yaitu mulai dari penulisan hingga penerbitannya, hanya dilakukan oleh orang-orang Sumatera Barat dan Medan. Karena khawatir dengan perkembangan perjuangan penerbitan tersebut, pemerintah Belanda kemudian mendirikan penerbit Buku Bacaan Rakyat. Tujuannya untuk mengimbangi perjuangan penerbitan yang dilakukan kaum pribumi. Pada tahun 1908, penerbit ini diubah namanya menjadi Balai Pustaka. Hingga jepang masuk ke Indonesia, Balai Pustaka belum pernah menerbitkan buku pelajaran lantaran bidang ini dikuasai penerbit swasta belanda.
Sekitar tahun 1950-an, penerbit swasta nasional mulai bermunculan. Sebagian besar berada di pulau Jawa dan selebihnya di Sumatera. Pada awalnya, mereka bermotif politis dan idealis. Mereka ingin mengambil alih dominasi para penerbit Belanda yang sesudah penyerahan kedaulatan di tahun 1950 masih diijinkan berusaha di Indonesia.
Pada tahun 1955, pemerintah Republik Indonesia mengambil alih dan menasionalisasi semua perusahaan Belanda di Indonesia. Kemudian pemerintah berusaha mendorong pertumbuhan dan perkembangan perjuangan penerbitan buku nasional dengan jalan memberi subsidi dan materi baku kertas bagi para penerbit buku nasional sehingga penerbit diwajibkan menjual buku-bukunya denga harga murah.
Pemerintah kemudian mendirikan Yayasan Lektur yang bertugas mengatur proteksi pemerintah kepada penerbit dan mengendalikan harga buku. Dengan adanya yayasan ini, pertumbuhan dan perkembangan penerbitan nasional sanggup meningkat denganc epat. Menurut Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) yang didirikan 1950, penerbit yang menjadi anggota IKAPI yang semula berjumlah 13 pada tahun 1965 naik menjadi 600-an lebih.
Pada tahun 1965 terjadi perubahan situasi politik di tanah air. Salah satu akhir dari perubahan itu yaitu keluarnya kebijakan gres pemerintah dalam bidang politik, ekonomi dan moneter. Sejak simpulan tahun 1965, subsidi bagi penerbit dihapus. Akibatnya, lantaran hanya 25% penerbit yang bertahan, situasi perbukuan mengalami kemunduran.
Sementara itu, pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mashuri, kemudian menetapkan bahwa semua buku pelajar.
Referensi:
http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20090616211159AAWFeaJ
http://www.penulissukses.com/penulis12.php
http://id.wikipedia.org/wiki/Buku
0 Response to "Nih Sejarah Perkembangan Buku Di Dunia Dan Indonesia"
Posting Komentar