Nih Sejarah Awal Sistem Politik Pintu Terbuka
Sejarah Awal Sistem Politik Pintu Terbuka - Untuk pertama kali dalam sejarah kolonial, pihak swasta menerima kesempatan membuka kegiatannya di Indonesia. Hal ini diatur dalam undang-undang Agraria kolonial/ Agrarische Wet (1870-1960).
Yang berisi
Pasal 1 : gubernur jenderal dilarang menjual tanah
Pasal 2 : gubernur jenderal dilarang menyewakan tanah
Pasal 3 : hak atas tanah paling usang 75 tahun
Tiga kutipan pasal itu sanggup menggambarkan jiwa dan sasaran yang ingin dicapai yaitu melayani pemilik modal Belanda. Dalam hal ini partai liberal sebagai jembatan yang dengan gigih memperjuangkan kehendak kaum kapitalis.
Perjuangan yang usang dan melelahkan diparlemen jadinya membuahkan hasil dan landasan aturan untuk menyalurkan modal.Namun dengan dikeluarkannya UUPA (UU pokok Agraria), UU No.5 Tahun 1960, undang-undang agraria kolonial tidak berlaku lagi.
POLITIK PINTU TERBUKA (OPEN DOOR POLICY) TAHUN 1850 – 1870
Paham kebebasan liberalisme mulai tumbuh subur di Eropa dan dianggap sebagai paham yang paling sesuai untuk diterapkan oleh negara-negara yang menjunjung tinggi kebebasan. Liberalisme muncul sebagai perilaku pendobrakan terhadap kekuasaan diktatorial dan didasarkan atas teori rasionalistis yang umum dikenal sebagai Social Contract. Menurut Siswanto (2004: 262) bahwa salah satu asas dari gagasan kontrak sosial ini yaitu bahwa dunia dikuasai oleh aturan yang timbul dari alam (nature), yang mengandung prisip-prinsip keadilan universal; artinya berlaku untuk semua waktu serta semua insan (Natural Law). Teori-teori kontrak sosial merupakan perjuangan mendobrak dasar dari pemerintahan absolut, dan berusaha memutuskan hak-hak politik rakyat. Bagi John Locke, hak-hak politik meliputi hak atas hidup, hak atas kebebasan dan hak untuk memiliki milik (life, liberty and property).
Menurut Ramadhan (2006) bahwa gagasan ekonomi liberal didasarkan pada sebuah pandangan; setiap individu harus diberi susukan seluas mungkin untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan ekonominya, tanpa ada intervensi dan campur tangan dari negara. Atas dasar itu, campur tangan negara tidak diharapkan lagi.
Pada politik kolonial liberal di Indonesia tidak terlepas dari perubahan politik Belanda. Pada tahun 1850, golongan liberal di negeri Belanda mulai memperoleh kemenangan dalam pemerintahan. Kemenangan itu diperoleh secara mutlak pada tahun 1870, sehingga tanam paksa sanggup dihapuskan. Mereka beropini bahwa aktivitas ekonomi di Indonesia harus ditangani oleh pihak swasta. Pemerintah hanya mengawasi saja, yaitu hanya sebagai polisi penjaga malam yang dilarang campur tangan dalam bidang ekonomi. Sistem ini akan menumbuhkan persaingan dalam rangka meningkatkan produksi perkebunan di Indonesia. Dengan demikina pendapatan negara juga akan bertambah.
Untuk mewujudkan sistem tersebut, pada tahun 1870 di Indonesia dilaksanakan politik kolonial liberal atau sering disebut “politik pintu terbuka” (open door policy). Sejak dikala itu pemerintahan Hindia Belanda membuka Indonesia bagi para pengusaha swasta abnormal untuk menanamkan modalnya, khususnya di bidang perkebunan. Pelaksanaan sistem liberal ini ditandai dengan keluarnya Undang-Undang De Waal, yaitu Undang-undang Agraria dan Undang-Undang Gula. Undang-Undang Gula (Agrarische Wet) menjelaskan bahwa semua tanah di Indonesia yaitu milik pemerintah kerajaan Belanda. Oleh lantaran itu, pihak swasta boleh menyewanya dalam jangka waktu antara 50 hingga 75 tahun di luar tanah-tanah yang dipakai oleh penduduk untuk bercocok tanam. Dalam Undang-Undang Gula (Suiker Wet) ditetapkan, bahwa tebu tidak dilarang diuangkut ke luar Indonesia tetapi harus diproses didalam negeri. Pabrik gula milik pemerintah akan dihapus secara sedikit demi sedikit dan diambil alih oleh pihak swasta. Pihak swasta juga diberi kesempatan yang luas untuk mendirikan pabrik gula gres (Swanto, dkk., 1997 :29).
Hal ini nampaknya juga masih tak lepas dari teori-teori mazhab klasik, antara lain terlihat pada a). Keberadaan pemerintah Hindia Belanda sebagai tuan tanah, pihak swasta yang mengelola perkebunan swasta sebagai golongan kapitalis, dan masyarakat pribumi sebagai buruh penggarap tanah. b). Prinsip keuntungan diktatorial : Bila di suatu daerah harga barang berada diatas ongkos tenaga kerja yang dibutuhkan, maka pengusaha memperoleh keuntungan yang besar dan mendorong mengalirnya faktor produksi ke daerah tersebut. c). Laissez fairelaissez passer, perekonomian diserahkan pada pihak swasta, walau jelas, pemerintah Belanda masih memegang tugas yang besar sebagai penjajah yang sesungguhnya.
Pengaruh Politik Liberal Bagi Indonesia
Terbukanya Indonesia bagi swasta abnormal berakibat munculnya perkebunan-perkebunan swasta abnormal di Indonesia menyerupai perkebunan teh dan kina di Jawa Barat, perkebunan tembakau di Deli, perkebunan tebu di Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan perkebunan karet di Serdang. Selain di bidang perkebunan, juga terjadi penanaman modal di bidang pertambangan kerikil bara di Umbilin. Menurut Swanto, dkk. (1997) imbas gerakan liberal terhadap Indonesia secara umum yaitu : 1). Tanam paksa dihapus. 2). Modal swasta abnormal mulai ditanamkan di Indonesia. 3). Rakyat Indonesia mulai mengerti akan arti pentingnya uang. 4). Usaha kerajinan rakyat terdesak oleh barang impor. 5). Pemerintah Hindia Belanda membangun sarana dan prasarana. 6). Hindia Belanda menjadi penghasil barang perkebunan yang penting.
Pelaksanaan politik kolonial liberal ternyata tidak lebih baik dari pada tanam paksa. Justru pada masa ini penduduk diperas oleh dua pihak. Pertama oleh pihak swasta dan yang kedua oleh pihak pemerintah. Pemerintah Hindia Belanda memeras penduduk secara tidak pribadi melelui pajak-pajak perkebunan dan pabrik yang harus dibayar oleh pihak swasta. Padahal, pihak swasta juga ingin menerima keuntungan yang besar. Untuk itu, para buruh diibayar dengan honor yang sangat rendah, tanpa jaminan kesehatan yang memadai, jatah makan yang kurang, dan tidak lagi memiliki tanah lantaran sudah disewakan untuk membayar hutang.
Disamping itu, para pekerja perkebunan diikat dengan sistem kontrak, sehingga mereka tidak sanggup melepaskan diri. Mereka harus mau mendapatkan semua yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Mereka tidak berani melarikan diri walaupun mendapatkan perlakuan yang tidak baik, lantaran mereka akan kena eksekusi dari pengusaha bila tertangkap. Pihak pengusaha memang memiliki peraturan yang disebut Poenale Sanctie (peraturan yang memutuskan pemberian hukuman eksekusi bagi para buruh yang melarikan diri dan tertangkap kembali). Keadaan yang demikian ini mengakibatkan tingkat kesejahteraan rakyat semakin merosot sehingga rakyat semakin menderita (Swanto, dkk., 1997 : 29-30).
Jadi, pada masa tanam paksa rakyat diperas oleh pemerintah Hindia Belanda, sedangkan pada masa politik pintu terbuka rakyat diperas baik pengusaha swasta maupun oleh pemerintah. Walaupun pemerintah melakukannya secara tidak langsung. Kekuatan liberal mendesak pemerintahan kolonial melindungi modal swasta dalam mendapatkan tanah, buruh, dan kesempatan menjalankan perjuangan atau perkebunan. Negara menjadi pelayan modal lewat proteksi infrastruktur dan birokrasi, dengan menelantarkan pelayanan masyarakat. Dengan demikian politik kolonial liberal yang semula menghendaki liberalisasi tanah jajahan kemudian berubah menjadi bagaimana mengatur tanah jajahan untuk memperoleh uang (Wiharyanto, 2006 :128).
Akibat Politik Pintu Terbuka Bagi Indonesia
Masuknya politik liberal yang disebabkan oleh gelombang liberalisme Eropa pada 1840-an, kekuatan liberal Belanda, didukung pemilik modal dan kelas menengah, meraih kekuasaan di negeri sendiri, kemudian mengontrol perekonomian Hindia Belanda. Berkredo “kebebasan usaha, kebebasan kerja, dan pemilikan pribadi”, kekuatan liberal mendesak pemerintahan kolonial melindungi modal swasta dalam mendapatkan tanah, buruh, dan kesempatan menjalankan perjuangan atau perkebunan. Negara menjadi pelayan modal lewat proteksi infrastruktur dan birokrasi, dengan menelantarkan pelayanan masyarakat (Latif, 2007). Kaum liberal memandang Hindia Belanda sebagai ladang pihak swasta sehingga sanggup mengakibatkan akibat-akibat, diantaranya : 1). Timbulnya urbanisasi. Hal ini sanggup terjadi lantaran rakyat yang sudah tidak memiliki tanah, pergi ke kota untuk mencari kehidupan dengan bekerja pada pabrik-pabrik yang telah didirikan oleh pihak swasta maupun pemerintah. 2). Penduduk kota semakin bertambah padat. 3). Timbulnya kaum buruh. 4). Rakyat pedesaan mulai mengenal uang. 5). Barang kerajinan rakyat terdesak oleh barang impor. 6). Tanah perkebunan semakin luas (Swanto,dkk.,1997:30).
Bagi bangsa Indonesia, liberalisme terang merupakan ideologi yang sanggup mengancam kelangsungan kebangsaan Indonesia lantaran secara material, di dalamnya terkandung nilai-nilai sosial-politik yang tidak sesuai dan bertentangan dengan perilaku politik bangsa Indonesia dalam mewujudkan cita-cita, berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Gerakan globalisasi dengan ideologi liberalismenya secara material yaitu upaya sistematis taktis dari negara Barat yang diarahkan untuk meruntuhkan janji politik bangsa Indonesia dalam memandang hakikat nation state. Menurut Soedjendro (2006) nilai-nilai sosial-politik ideologi liberalisme yang bersifat ekstrem dan bertentangan dengan ideologi Pancasila tersebut adalah: Pertama, ideologi liberalisme memperlihatkan prinsip kebebasan individual secara mutlak, tidak berpijak pada nilai-nilai moral, kesusilaan, dan keadilan sosial. Kedua, ideologi liberalisme menghendaki adanya sistem pengelolaan perekonomian secara bebas dan tidak menghendaki adanya keterlibatan negara (pemerintah) dalam membuat kesejahteraan sosial-ekonomi rakyat. Ketiga, ideologi liberalisme menganut sistem nilai demokrasi yang memakai ukuran pembenaran menurut kebutuhan diktator mayoritas, sehingga untuk mencapainya cukup dengan ukuran 50% ditambah 1 selesai. Namun demokrasi yang dicita-citakan ideologi Pancasila tidak sanggup atau tidak cukup dengan hanya 50% ditambah 1 tetapi harus melalui musyawarah untuk merumuskan sebuah keputusan dalam perspektif kepentingan bersama yang berkeadilan.
Walaupun zaman Hindia Belanda diawali dengan harapan – harapan besar mengenai keunggulan sistem liberal dalam meningkatkan perkembangan ekonomi kolonial sehingga menguntungkan kesejahteraan rakyat Belanda maupun rakyat Indonesia, namun pada selesai era ke-19 sudah kasatmata bahwa rakyat Indonesia sendiri tidak mengalami tingkat kemakmuran yang lebih baik daripada masa yang lampau (Poesponegoro dan Notosusanto, 1993 : 124).
Referensi:
http://www.sherlymalthufah.freeiz.com/politik_pintu_terbuka.html
https://sejarahasal.blogspot.com//search?q=sejarah-awal-berdiri-negara-belanda
Yang berisi
Pasal 1 : gubernur jenderal dilarang menjual tanah
Pasal 2 : gubernur jenderal dilarang menyewakan tanah
Pasal 3 : hak atas tanah paling usang 75 tahun
Tiga kutipan pasal itu sanggup menggambarkan jiwa dan sasaran yang ingin dicapai yaitu melayani pemilik modal Belanda. Dalam hal ini partai liberal sebagai jembatan yang dengan gigih memperjuangkan kehendak kaum kapitalis.
Perjuangan yang usang dan melelahkan diparlemen jadinya membuahkan hasil dan landasan aturan untuk menyalurkan modal.Namun dengan dikeluarkannya UUPA (UU pokok Agraria), UU No.5 Tahun 1960, undang-undang agraria kolonial tidak berlaku lagi.
POLITIK PINTU TERBUKA (OPEN DOOR POLICY) TAHUN 1850 – 1870
Paham kebebasan liberalisme mulai tumbuh subur di Eropa dan dianggap sebagai paham yang paling sesuai untuk diterapkan oleh negara-negara yang menjunjung tinggi kebebasan. Liberalisme muncul sebagai perilaku pendobrakan terhadap kekuasaan diktatorial dan didasarkan atas teori rasionalistis yang umum dikenal sebagai Social Contract. Menurut Siswanto (2004: 262) bahwa salah satu asas dari gagasan kontrak sosial ini yaitu bahwa dunia dikuasai oleh aturan yang timbul dari alam (nature), yang mengandung prisip-prinsip keadilan universal; artinya berlaku untuk semua waktu serta semua insan (Natural Law). Teori-teori kontrak sosial merupakan perjuangan mendobrak dasar dari pemerintahan absolut, dan berusaha memutuskan hak-hak politik rakyat. Bagi John Locke, hak-hak politik meliputi hak atas hidup, hak atas kebebasan dan hak untuk memiliki milik (life, liberty and property).
Menurut Ramadhan (2006) bahwa gagasan ekonomi liberal didasarkan pada sebuah pandangan; setiap individu harus diberi susukan seluas mungkin untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan ekonominya, tanpa ada intervensi dan campur tangan dari negara. Atas dasar itu, campur tangan negara tidak diharapkan lagi.
Pada politik kolonial liberal di Indonesia tidak terlepas dari perubahan politik Belanda. Pada tahun 1850, golongan liberal di negeri Belanda mulai memperoleh kemenangan dalam pemerintahan. Kemenangan itu diperoleh secara mutlak pada tahun 1870, sehingga tanam paksa sanggup dihapuskan. Mereka beropini bahwa aktivitas ekonomi di Indonesia harus ditangani oleh pihak swasta. Pemerintah hanya mengawasi saja, yaitu hanya sebagai polisi penjaga malam yang dilarang campur tangan dalam bidang ekonomi. Sistem ini akan menumbuhkan persaingan dalam rangka meningkatkan produksi perkebunan di Indonesia. Dengan demikina pendapatan negara juga akan bertambah.
Untuk mewujudkan sistem tersebut, pada tahun 1870 di Indonesia dilaksanakan politik kolonial liberal atau sering disebut “politik pintu terbuka” (open door policy). Sejak dikala itu pemerintahan Hindia Belanda membuka Indonesia bagi para pengusaha swasta abnormal untuk menanamkan modalnya, khususnya di bidang perkebunan. Pelaksanaan sistem liberal ini ditandai dengan keluarnya Undang-Undang De Waal, yaitu Undang-undang Agraria dan Undang-Undang Gula. Undang-Undang Gula (Agrarische Wet) menjelaskan bahwa semua tanah di Indonesia yaitu milik pemerintah kerajaan Belanda. Oleh lantaran itu, pihak swasta boleh menyewanya dalam jangka waktu antara 50 hingga 75 tahun di luar tanah-tanah yang dipakai oleh penduduk untuk bercocok tanam. Dalam Undang-Undang Gula (Suiker Wet) ditetapkan, bahwa tebu tidak dilarang diuangkut ke luar Indonesia tetapi harus diproses didalam negeri. Pabrik gula milik pemerintah akan dihapus secara sedikit demi sedikit dan diambil alih oleh pihak swasta. Pihak swasta juga diberi kesempatan yang luas untuk mendirikan pabrik gula gres (Swanto, dkk., 1997 :29).
Hal ini nampaknya juga masih tak lepas dari teori-teori mazhab klasik, antara lain terlihat pada a). Keberadaan pemerintah Hindia Belanda sebagai tuan tanah, pihak swasta yang mengelola perkebunan swasta sebagai golongan kapitalis, dan masyarakat pribumi sebagai buruh penggarap tanah. b). Prinsip keuntungan diktatorial : Bila di suatu daerah harga barang berada diatas ongkos tenaga kerja yang dibutuhkan, maka pengusaha memperoleh keuntungan yang besar dan mendorong mengalirnya faktor produksi ke daerah tersebut. c). Laissez fairelaissez passer, perekonomian diserahkan pada pihak swasta, walau jelas, pemerintah Belanda masih memegang tugas yang besar sebagai penjajah yang sesungguhnya.
Pengaruh Politik Liberal Bagi Indonesia
Terbukanya Indonesia bagi swasta abnormal berakibat munculnya perkebunan-perkebunan swasta abnormal di Indonesia menyerupai perkebunan teh dan kina di Jawa Barat, perkebunan tembakau di Deli, perkebunan tebu di Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan perkebunan karet di Serdang. Selain di bidang perkebunan, juga terjadi penanaman modal di bidang pertambangan kerikil bara di Umbilin. Menurut Swanto, dkk. (1997) imbas gerakan liberal terhadap Indonesia secara umum yaitu : 1). Tanam paksa dihapus. 2). Modal swasta abnormal mulai ditanamkan di Indonesia. 3). Rakyat Indonesia mulai mengerti akan arti pentingnya uang. 4). Usaha kerajinan rakyat terdesak oleh barang impor. 5). Pemerintah Hindia Belanda membangun sarana dan prasarana. 6). Hindia Belanda menjadi penghasil barang perkebunan yang penting.
Pelaksanaan politik kolonial liberal ternyata tidak lebih baik dari pada tanam paksa. Justru pada masa ini penduduk diperas oleh dua pihak. Pertama oleh pihak swasta dan yang kedua oleh pihak pemerintah. Pemerintah Hindia Belanda memeras penduduk secara tidak pribadi melelui pajak-pajak perkebunan dan pabrik yang harus dibayar oleh pihak swasta. Padahal, pihak swasta juga ingin menerima keuntungan yang besar. Untuk itu, para buruh diibayar dengan honor yang sangat rendah, tanpa jaminan kesehatan yang memadai, jatah makan yang kurang, dan tidak lagi memiliki tanah lantaran sudah disewakan untuk membayar hutang.
Disamping itu, para pekerja perkebunan diikat dengan sistem kontrak, sehingga mereka tidak sanggup melepaskan diri. Mereka harus mau mendapatkan semua yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Mereka tidak berani melarikan diri walaupun mendapatkan perlakuan yang tidak baik, lantaran mereka akan kena eksekusi dari pengusaha bila tertangkap. Pihak pengusaha memang memiliki peraturan yang disebut Poenale Sanctie (peraturan yang memutuskan pemberian hukuman eksekusi bagi para buruh yang melarikan diri dan tertangkap kembali). Keadaan yang demikian ini mengakibatkan tingkat kesejahteraan rakyat semakin merosot sehingga rakyat semakin menderita (Swanto, dkk., 1997 : 29-30).
Jadi, pada masa tanam paksa rakyat diperas oleh pemerintah Hindia Belanda, sedangkan pada masa politik pintu terbuka rakyat diperas baik pengusaha swasta maupun oleh pemerintah. Walaupun pemerintah melakukannya secara tidak langsung. Kekuatan liberal mendesak pemerintahan kolonial melindungi modal swasta dalam mendapatkan tanah, buruh, dan kesempatan menjalankan perjuangan atau perkebunan. Negara menjadi pelayan modal lewat proteksi infrastruktur dan birokrasi, dengan menelantarkan pelayanan masyarakat. Dengan demikian politik kolonial liberal yang semula menghendaki liberalisasi tanah jajahan kemudian berubah menjadi bagaimana mengatur tanah jajahan untuk memperoleh uang (Wiharyanto, 2006 :128).
Akibat Politik Pintu Terbuka Bagi Indonesia
Masuknya politik liberal yang disebabkan oleh gelombang liberalisme Eropa pada 1840-an, kekuatan liberal Belanda, didukung pemilik modal dan kelas menengah, meraih kekuasaan di negeri sendiri, kemudian mengontrol perekonomian Hindia Belanda. Berkredo “kebebasan usaha, kebebasan kerja, dan pemilikan pribadi”, kekuatan liberal mendesak pemerintahan kolonial melindungi modal swasta dalam mendapatkan tanah, buruh, dan kesempatan menjalankan perjuangan atau perkebunan. Negara menjadi pelayan modal lewat proteksi infrastruktur dan birokrasi, dengan menelantarkan pelayanan masyarakat (Latif, 2007). Kaum liberal memandang Hindia Belanda sebagai ladang pihak swasta sehingga sanggup mengakibatkan akibat-akibat, diantaranya : 1). Timbulnya urbanisasi. Hal ini sanggup terjadi lantaran rakyat yang sudah tidak memiliki tanah, pergi ke kota untuk mencari kehidupan dengan bekerja pada pabrik-pabrik yang telah didirikan oleh pihak swasta maupun pemerintah. 2). Penduduk kota semakin bertambah padat. 3). Timbulnya kaum buruh. 4). Rakyat pedesaan mulai mengenal uang. 5). Barang kerajinan rakyat terdesak oleh barang impor. 6). Tanah perkebunan semakin luas (Swanto,dkk.,1997:30).
Bagi bangsa Indonesia, liberalisme terang merupakan ideologi yang sanggup mengancam kelangsungan kebangsaan Indonesia lantaran secara material, di dalamnya terkandung nilai-nilai sosial-politik yang tidak sesuai dan bertentangan dengan perilaku politik bangsa Indonesia dalam mewujudkan cita-cita, berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Gerakan globalisasi dengan ideologi liberalismenya secara material yaitu upaya sistematis taktis dari negara Barat yang diarahkan untuk meruntuhkan janji politik bangsa Indonesia dalam memandang hakikat nation state. Menurut Soedjendro (2006) nilai-nilai sosial-politik ideologi liberalisme yang bersifat ekstrem dan bertentangan dengan ideologi Pancasila tersebut adalah: Pertama, ideologi liberalisme memperlihatkan prinsip kebebasan individual secara mutlak, tidak berpijak pada nilai-nilai moral, kesusilaan, dan keadilan sosial. Kedua, ideologi liberalisme menghendaki adanya sistem pengelolaan perekonomian secara bebas dan tidak menghendaki adanya keterlibatan negara (pemerintah) dalam membuat kesejahteraan sosial-ekonomi rakyat. Ketiga, ideologi liberalisme menganut sistem nilai demokrasi yang memakai ukuran pembenaran menurut kebutuhan diktator mayoritas, sehingga untuk mencapainya cukup dengan ukuran 50% ditambah 1 selesai. Namun demokrasi yang dicita-citakan ideologi Pancasila tidak sanggup atau tidak cukup dengan hanya 50% ditambah 1 tetapi harus melalui musyawarah untuk merumuskan sebuah keputusan dalam perspektif kepentingan bersama yang berkeadilan.
Walaupun zaman Hindia Belanda diawali dengan harapan – harapan besar mengenai keunggulan sistem liberal dalam meningkatkan perkembangan ekonomi kolonial sehingga menguntungkan kesejahteraan rakyat Belanda maupun rakyat Indonesia, namun pada selesai era ke-19 sudah kasatmata bahwa rakyat Indonesia sendiri tidak mengalami tingkat kemakmuran yang lebih baik daripada masa yang lampau (Poesponegoro dan Notosusanto, 1993 : 124).
Referensi:
http://www.sherlymalthufah.freeiz.com/politik_pintu_terbuka.html
https://sejarahasal.blogspot.com//search?q=sejarah-awal-berdiri-negara-belanda
0 Response to "Nih Sejarah Awal Sistem Politik Pintu Terbuka"
Posting Komentar