Nih Berguru Toleransi Dari Lamdesar Barat
BELAJAR TOLERANSI DARI LAMDESAR BARAT - Ada kalanya secara umum dikuasai yang harus menghargai minoritas. Bukan hanya minoritas yang membisu melihat mayoritas.
Lamdesar Barat yakni sebuah desa kecil di ujung timur Pulau Larat, Kepulauan Tanimbar, Maluku. Penduduknya secara umum dikuasai Kristen Protestan dan sebagian lain Kristen Katolik. Tak ada yang menganut agama lain.
Penduduknya tercatat 148 KK. Mayoritas petani rumput maritim dan berkebun dengan penghasilan rata-rata Rp 300ribu per bulan. Tempat yang terpencil mengakibatkan sinyal belum ada dan listrik masih terbatas, hanya hidup pada malam hari.
Keberadaan saya di sana sebagai Pengajar Muda dari Gerakan Indonesia Mengajar yang bertugas selama satu tahun mengajar di SD setempat. Maka, saya pun menjadi satu-satunya Muslim yang tinggal di desa itu. Puasa tahun ini menjadi pengalaman gres bagi saya, sekaligus pengalaman gres pula bagi sebagian masyarakat di sana.
O. J. Ongirwalu, salah seorang warga bercerita bahwasanya dulu di Lamdesar Barat pernah ada warga yang menganut agama Islam. Bahkan juga ada masjidnya. Tapi kerusuhan Ambon silam ternyata juga berdampak sampai ke wilayah ini. Warga desa sebelah tiba-tiba tiba dan mengkremasi masjid. Warga Muslim yang pendatang kembali ke tempat asalnya, sementara yang penduduk orisinil kembali ke agamanya semula.
“Padahal dulu di sini hubungannya anggun sekali. Kalau Lebaran, kami semua tiba ke rumah mereka. Kalau ada penyambutan-penyambutan menyerupai kedatangan pendeta, mereka pun ikut menyambut dengan qasidah,” katanya sambil tersenyum.
Setelah bertahun-tahun tak pernah ada Muslim, kedatanganku pun dianggap sesuatu yang baru. Masyarakat desa menjadi tahu kalau ada masakan yang haram bagiku, bagaimana seorang Muslim beribadah dan segala pantangannya.
Saat awal Ramadhan lalu, saya pun sempat khawatir bagaimana nanti melaksanakan puasa di sini. Ternyata tak ada masalah. Setidaknya merasa lebih hening daripada biasanya. Memang tak ada kolak, bubur pedas, toge mandailing, dan segala tradisi Ramadhan lainnya. Tapi Alhamdulillah, penghargaan masyarakat menjadi berkah tersendiri.
Bagi yang tahu saya berpuasa, tak ada masyarakat yang pernah makan atau minum di depan saya ketika siang hari. Sebelum Ramadhan, bahkan ada yang memberikanku pisang satu tandan besar dari ladangnya. Katanya, untuk persiapanku memulai puasa.
Di rumah saya tinggal bahkan tak pernah terlihat ada masakan di atas meja makan semenjak pagi sampai sore. Mereka makan dan minum di dapur belakang supaya tak terlihat.
Di sekolah, guru-guru juga seringkali menanyai keadaanku, apakah masih besar lengan berkuasa mengajar atau tidak. Bahkan di awal, pihak sekolah sempat menyuruhku libur saja selama sebulan. Saat ngobrol di ruang guru dan pembicaraan menyerempet ke hal-hal yang membicarakan orang lain, ada saja yang mengingatkan bahwa ada saya yang sedang puasa dan kemudian minta maaf.
Paling mengharukan, ketika diberi kurma oleh ibu pendeta. Saat itu ia gres pulang dari kota kecamatan, pada sebuah toko ia di beri tahu oleh penjualnya kalau kurma ini biasa menjadi masakan berbuka puasa. Ia pun pribadi membelinya dan menghadiahkannya padaku untuk berbuka puasa.
Kurma biasa, tapi terasa luar biasa. Saya tak pernah terbayang sanggup makan kurma di sini. Apalagi di berikan untuk buka puasa, oleh seorang pendeta.
Padahal pengetahuan mereka terhadap puasa amat minim. Keluarga piara saya semula menduga kalau puasa ini hanya tiga hari, sesuai kegiatan libur sekolah menyambut puasa. Beberapa masyarakat juga menduga kalau puasa itu boleh minum, ada pula yang menduga boleh makan pagi. Meskipun ada juga yang tahu lebih banyak, itu pun alasannya yakni sering nonton tivi dan mau tak mau menyaksikan tayangan-tayangan Ramadhan.
Terlepas soal puasa, dalam keseharian masyarakat Lamdesar Barat memang begitu menghargai perbedaan yang kami miliki. Jika ada orang yang menumpang tinggal di rumahnya dan tidak memakan anjing atau babi, maka keluarga di rumah itu akan menahan diri tidak memasak masakan itu selama orang tersebut masih tinggal di sana.
Setelah mengetahui kalau seorang Muslim memiiki kewajiban sembahyang lima waktu, keluarga piaraku memasangkan karpet plastik di kamar supaya memudahkanku shalat. Mereka juga selalu mengurangi volume bunyi dan mengingatkan yang lain supaya tidak ribut, tiap melihat saya masuk kamar usai mengambil wudhu.
Tiap warga juga selalu mengusir anjing dalam rumah ketika saya kebetulan bertamu ke rumahnya. Ketika prosesi moral ketika pertama kali datang, mereka juga menghargai perilaku saya yang tidak meminum sopi (arak). Padahal sopi dianggap barang moral yang wajib di minum setiap orang yang sedang melaksanakan prosesi adat.
Saat pembukaan salah satu kegiatan di kota kecamatan beberapa waktu lalu, setiap yang berpidato selalu menambahkan kata “Assalamualaikum” sehabis kata “Shalom” hanya alasannya yakni ada satu Muslim di ruangan itu. Mereka selalu mengucapkannya sambil memandang ke arah saya. Bahkan ketika akan memimpin doa, pendeta merasa perlu meminta maaf alasannya yakni doa akan dibawakan dengan cara Kristen.
Sesuatu yang belum pernah saya alami ketika di Medan, maupun kota-kota di Indonesia lainnya. Wajar kalau doa dibawakan berdasarkan agama mayoritas, tapi jarang ada yang terpikir untuk meminta maaf pada penganut lainnya. Seringkali, hanya minoritas yang dianggap harus menghargai mayoritas.
Bulan Ramadhan di tanah Maluku ini, saya melihat Indonesia dari sudut yang lain. Dari Lamdesar Barat, desa kecil nan terpencil pun kita sanggup belajar.
Source:
https://www.facebook.com/INSIDE.OF.INDONESIA
Lamdesar Barat yakni sebuah desa kecil di ujung timur Pulau Larat, Kepulauan Tanimbar, Maluku. Penduduknya secara umum dikuasai Kristen Protestan dan sebagian lain Kristen Katolik. Tak ada yang menganut agama lain.
Penduduknya tercatat 148 KK. Mayoritas petani rumput maritim dan berkebun dengan penghasilan rata-rata Rp 300ribu per bulan. Tempat yang terpencil mengakibatkan sinyal belum ada dan listrik masih terbatas, hanya hidup pada malam hari.
Keberadaan saya di sana sebagai Pengajar Muda dari Gerakan Indonesia Mengajar yang bertugas selama satu tahun mengajar di SD setempat. Maka, saya pun menjadi satu-satunya Muslim yang tinggal di desa itu. Puasa tahun ini menjadi pengalaman gres bagi saya, sekaligus pengalaman gres pula bagi sebagian masyarakat di sana.
O. J. Ongirwalu, salah seorang warga bercerita bahwasanya dulu di Lamdesar Barat pernah ada warga yang menganut agama Islam. Bahkan juga ada masjidnya. Tapi kerusuhan Ambon silam ternyata juga berdampak sampai ke wilayah ini. Warga desa sebelah tiba-tiba tiba dan mengkremasi masjid. Warga Muslim yang pendatang kembali ke tempat asalnya, sementara yang penduduk orisinil kembali ke agamanya semula.
“Padahal dulu di sini hubungannya anggun sekali. Kalau Lebaran, kami semua tiba ke rumah mereka. Kalau ada penyambutan-penyambutan menyerupai kedatangan pendeta, mereka pun ikut menyambut dengan qasidah,” katanya sambil tersenyum.
Setelah bertahun-tahun tak pernah ada Muslim, kedatanganku pun dianggap sesuatu yang baru. Masyarakat desa menjadi tahu kalau ada masakan yang haram bagiku, bagaimana seorang Muslim beribadah dan segala pantangannya.
Saat awal Ramadhan lalu, saya pun sempat khawatir bagaimana nanti melaksanakan puasa di sini. Ternyata tak ada masalah. Setidaknya merasa lebih hening daripada biasanya. Memang tak ada kolak, bubur pedas, toge mandailing, dan segala tradisi Ramadhan lainnya. Tapi Alhamdulillah, penghargaan masyarakat menjadi berkah tersendiri.
Bagi yang tahu saya berpuasa, tak ada masyarakat yang pernah makan atau minum di depan saya ketika siang hari. Sebelum Ramadhan, bahkan ada yang memberikanku pisang satu tandan besar dari ladangnya. Katanya, untuk persiapanku memulai puasa.
Di rumah saya tinggal bahkan tak pernah terlihat ada masakan di atas meja makan semenjak pagi sampai sore. Mereka makan dan minum di dapur belakang supaya tak terlihat.
Di sekolah, guru-guru juga seringkali menanyai keadaanku, apakah masih besar lengan berkuasa mengajar atau tidak. Bahkan di awal, pihak sekolah sempat menyuruhku libur saja selama sebulan. Saat ngobrol di ruang guru dan pembicaraan menyerempet ke hal-hal yang membicarakan orang lain, ada saja yang mengingatkan bahwa ada saya yang sedang puasa dan kemudian minta maaf.
Paling mengharukan, ketika diberi kurma oleh ibu pendeta. Saat itu ia gres pulang dari kota kecamatan, pada sebuah toko ia di beri tahu oleh penjualnya kalau kurma ini biasa menjadi masakan berbuka puasa. Ia pun pribadi membelinya dan menghadiahkannya padaku untuk berbuka puasa.
Kurma biasa, tapi terasa luar biasa. Saya tak pernah terbayang sanggup makan kurma di sini. Apalagi di berikan untuk buka puasa, oleh seorang pendeta.
Padahal pengetahuan mereka terhadap puasa amat minim. Keluarga piara saya semula menduga kalau puasa ini hanya tiga hari, sesuai kegiatan libur sekolah menyambut puasa. Beberapa masyarakat juga menduga kalau puasa itu boleh minum, ada pula yang menduga boleh makan pagi. Meskipun ada juga yang tahu lebih banyak, itu pun alasannya yakni sering nonton tivi dan mau tak mau menyaksikan tayangan-tayangan Ramadhan.
Terlepas soal puasa, dalam keseharian masyarakat Lamdesar Barat memang begitu menghargai perbedaan yang kami miliki. Jika ada orang yang menumpang tinggal di rumahnya dan tidak memakan anjing atau babi, maka keluarga di rumah itu akan menahan diri tidak memasak masakan itu selama orang tersebut masih tinggal di sana.
Setelah mengetahui kalau seorang Muslim memiiki kewajiban sembahyang lima waktu, keluarga piaraku memasangkan karpet plastik di kamar supaya memudahkanku shalat. Mereka juga selalu mengurangi volume bunyi dan mengingatkan yang lain supaya tidak ribut, tiap melihat saya masuk kamar usai mengambil wudhu.
Tiap warga juga selalu mengusir anjing dalam rumah ketika saya kebetulan bertamu ke rumahnya. Ketika prosesi moral ketika pertama kali datang, mereka juga menghargai perilaku saya yang tidak meminum sopi (arak). Padahal sopi dianggap barang moral yang wajib di minum setiap orang yang sedang melaksanakan prosesi adat.
Saat pembukaan salah satu kegiatan di kota kecamatan beberapa waktu lalu, setiap yang berpidato selalu menambahkan kata “Assalamualaikum” sehabis kata “Shalom” hanya alasannya yakni ada satu Muslim di ruangan itu. Mereka selalu mengucapkannya sambil memandang ke arah saya. Bahkan ketika akan memimpin doa, pendeta merasa perlu meminta maaf alasannya yakni doa akan dibawakan dengan cara Kristen.
Sesuatu yang belum pernah saya alami ketika di Medan, maupun kota-kota di Indonesia lainnya. Wajar kalau doa dibawakan berdasarkan agama mayoritas, tapi jarang ada yang terpikir untuk meminta maaf pada penganut lainnya. Seringkali, hanya minoritas yang dianggap harus menghargai mayoritas.
Bulan Ramadhan di tanah Maluku ini, saya melihat Indonesia dari sudut yang lain. Dari Lamdesar Barat, desa kecil nan terpencil pun kita sanggup belajar.
Source:
https://www.facebook.com/INSIDE.OF.INDONESIA
Related Posts