Nih Sejarah Awal Mula Bangun Kota Palembang
Kota Palembang adalah salah satu kota (dahulu daerah tingkat II berstatus kotamadya) sekaligus merupakan ibu kota dari Provinsi Sumatra Selatan. Palembang yakni kota terbesar kedua di Sumatra sesudah Medan. Kota ini dahulu pernah menjadi sentra Kerajaan Sriwijaya sebelum kemudian berpindah ke Jambi. Bukit Siguntang, di Palembang Barat, sampai kini masih dikeramatkan banyak orang dan dianggap sebagai bekas sentra kesucian di masa lalu.
Palembang merupakan kota tertua di Indonesia, hal ini didasarkan pada prasasti Kedukan Bukit (683 M) yang diketemukan di Bukit Siguntang, sebelah barat Kota Palembang, yang menyatakan pembentukan sebuah wanua yang ditafsirkan sebagai kota yang merupakan ibukota Kerajaan Sriwijaya pada tanggal 16 Juni 683 Masehi (tanggal 5 bulan Ashada tahun 605 syaka). Maka tanggal tersebut dijadikan patokan hari lahir Kota Palembang.
Pada dikala itu oleh penguasa Sriwijaya didirikan Wanua di daerah yang kini dikenal sebagai kota Palembang. Menurut topografinya, kota ini dikelilingi oleh air, bahkan terendam oleh air. Air tersebut bersumber baik dari sungai maupun rawa, juga air hujan. Bahkan dikala ini kota Palembang masih terdapat 52,24 % tanah yang yang tergenang oleh air (data Statistik 1990). Berkemungkinan lantaran kondisi inilah maka nenek moyang orang-orang kota ini menamakan kota ini sebagai Pa-lembang dalam bahasa melayu Pa atau Pe sebagai kata tunjuk suatu tempat atau keadaan; sedangkan lembang atau lembeng artinya tanah yang rendah, lembah akar yang membengkak lantaran usang terendam air (menurut kamus melayu), sedangkan berdasarkan bahasa melayu-Palembang, lembang atau lembeng yakni genangan air. Makara Palembang yakni suatu tempat yang digenangi oleh air.
Kondisi alam ini bagi nenek moyang orang-orang Palembang menjadi modal mereka untuk memanfaatkannya. Air menjadi sarana transportasi yang sangat vital, ekonomis, efisien dan punya daya jangkau dan punya kecepatan yang tinggi. Selain kondisi alam, juga letak strategis kota ini yang berada dalam satu jaringan yang bisa mengendalikan kemudian lintas antara tiga kesatuan wilayah:
Tanah tinggi Sumatera belahan Barat, yaitu :
Ketiga kesatuan wilayah ini merupakan faktor setempat yang sangat mementukan dalam pembentukan contoh kebudayaan yang bersifat peradaban. Faktor setempat yang berupa jaringan dan komoditi dengan frekuensi tinggi sudah terbentuk lebih dulu dan berhasil mendorong insan setempat membuat pertumbuhan contoh kebudayaan tinggi di Sumatera Selatan. Faktor setempat inilah yang membuat Palembang menjadi ibukota Sriwijaya, yang merupakan kekuatan politik dan ekonomi di zaman klasik pada wilayah Asia Tenggara. Kejayaan Sriwijaya diambil oleh Kesultanan Palembang Darusallam pada zaman madya sebagai kesultanan yang disegani dikawasan Nusantara
1256976844.jpgSriwijaya, ibarat juga bentuk-bentuk pemerintahan di Asia Tenggara lainnya pada kurun waktu itu, bentuknya dikenal sebagai Port-polity. Pengertian Port-polity secara sederhana bermula sebagai sebuah sentra redistribusi, yang secara perlahan-lahan mengambil alih sejumlah bentuk peningkatan kemajuan yang terkandung di dalam spektrum luas. Pusat pertumbuhan dari sebuah Polity yakni entreport yang menghasilkan aksesori bagi kekayaan dan kontak-kontak kebudayaan. Hasil-hasil ini diperoleh oleh para pemimpin setempat. (dalam istilah Sriwijaya sebutannya yakni datu), dengan hasil ini merupakan basis untuk penggunaan kekuatan ekonomi dan penguasaan politik di Asia Tenggara.
Ada goresan pena menarik dari kronik Cina Chu-Fan-Chi yang ditulis oleh Chau Ju-Kua pada masa ke 14, menceritakan ihwal Sriwijaya sebagai berikut :Negara ini terletak di Laut selatan, menguasai kemudian lintas perdagangan asing di Selat. Pada zaman dahulu pelabuhannya memakai rantai besi untuk menahan bajak-bajak bahari yang bermaksud jahat. Jika ada perahu-perahu asing datang, rantai itu diturunkan. Setelah keadaan kondusif kembali, rantai itu disingkirkan. Perahu-perahu yang lewat tanpa singgah dipelabuhan dikepung oleh perahu-perahu milik kerajaan dan diserang. Semua awak-awak bahtera tersebut berani mati. Itulah sebabnya maka negara itu menjadi sentra pelayaran.
Tentunya banyak lagi cerita, legenda bahkan mitos ihwal Sriwijaya. Pelaut-pelaut Cina asing ibarat Cina, Arab dan Parsi, mencatat seluruh perisitiwa kapanpun kisah-kisah yang mereka lihat dan dengan. Jika pelaut-pelaut Arab dan Parsi, menggambarkan keadaan sungai Musi, dimana Palembang terletak, yakni bagaikan kota di Tiggris. Kota Palembang digambarkan mereka yakni kota yang sangat besar, dimana kalau dimasuki kota tersebut, kokok ayam jantan tidak berhenti bersahut-sahutan (dalam arti kokok sang ayam mengikuti terbitnya matahari). Kisah-kisah perjalanan mereka penuh dengan keajaiban 1001 malam. Pelaut-pelaut Cina mencatat lebih realistis ihwal kota Palembang, dimana mereka melihat bagaimana kehiduapan penduduk kota yang hidup diatas rakit-rakit tanpa dipungut pajak. Sedangkan bagi pemimpin hidup berumah ditanah kering diatas rumah yang bertiang. Mereka mengeja nama Palembang sesuai dengan pengecap dan huruf mereka. Palembang disebut atau diucapkan mereka sebagai Po-lin-fong atau Ku-kang (berarti pelabuhan lama).Setelah mengalami kejayaan diabad-abad ke-7 dan 9, maka dikurun masa ke-12 Sriwijaya mengalami keruntuhan secara perlahan-lahan. Keruntuhan Sriwijaya ini, baik lantaran persaingan dengan kerajaan di Jawa, pertempuran dengan kerajaan Cola dari India dan terakhir kejatuhan ini tak terelakkan sesudah bangkitnya bangkitnya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara. Kerajaan-kerajaan Islam yang tadinya merupakan bagian-bagian kecil dari kerajaan Sriwijaya, berubah menjadi kerajaan besar ibarat yang ada di Aceh dan Semenanjung Malaysia.
Sumber:
http://infokito.wordpress.com/2007/07/15/mengenal-kota-palembang/
http://www.palembang.go.id/?nmodul=halaman&judul=sejarah&bhsnyo=id
http://karimsh.multiply.com/journal/item/77?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem
Palembang merupakan kota tertua di Indonesia, hal ini didasarkan pada prasasti Kedukan Bukit (683 M) yang diketemukan di Bukit Siguntang, sebelah barat Kota Palembang, yang menyatakan pembentukan sebuah wanua yang ditafsirkan sebagai kota yang merupakan ibukota Kerajaan Sriwijaya pada tanggal 16 Juni 683 Masehi (tanggal 5 bulan Ashada tahun 605 syaka). Maka tanggal tersebut dijadikan patokan hari lahir Kota Palembang.
Pada dikala itu oleh penguasa Sriwijaya didirikan Wanua di daerah yang kini dikenal sebagai kota Palembang. Menurut topografinya, kota ini dikelilingi oleh air, bahkan terendam oleh air. Air tersebut bersumber baik dari sungai maupun rawa, juga air hujan. Bahkan dikala ini kota Palembang masih terdapat 52,24 % tanah yang yang tergenang oleh air (data Statistik 1990). Berkemungkinan lantaran kondisi inilah maka nenek moyang orang-orang kota ini menamakan kota ini sebagai Pa-lembang dalam bahasa melayu Pa atau Pe sebagai kata tunjuk suatu tempat atau keadaan; sedangkan lembang atau lembeng artinya tanah yang rendah, lembah akar yang membengkak lantaran usang terendam air (menurut kamus melayu), sedangkan berdasarkan bahasa melayu-Palembang, lembang atau lembeng yakni genangan air. Makara Palembang yakni suatu tempat yang digenangi oleh air.
Kondisi alam ini bagi nenek moyang orang-orang Palembang menjadi modal mereka untuk memanfaatkannya. Air menjadi sarana transportasi yang sangat vital, ekonomis, efisien dan punya daya jangkau dan punya kecepatan yang tinggi. Selain kondisi alam, juga letak strategis kota ini yang berada dalam satu jaringan yang bisa mengendalikan kemudian lintas antara tiga kesatuan wilayah:
Tanah tinggi Sumatera belahan Barat, yaitu :
- Pegunungan Bukit Barisan.
- Daerah kaki bukit atau piedmont dan pertemuan bawah umur sungai sewaktu memasuki dataran rendah.
- Daerah pesisir timur laut.
Ketiga kesatuan wilayah ini merupakan faktor setempat yang sangat mementukan dalam pembentukan contoh kebudayaan yang bersifat peradaban. Faktor setempat yang berupa jaringan dan komoditi dengan frekuensi tinggi sudah terbentuk lebih dulu dan berhasil mendorong insan setempat membuat pertumbuhan contoh kebudayaan tinggi di Sumatera Selatan. Faktor setempat inilah yang membuat Palembang menjadi ibukota Sriwijaya, yang merupakan kekuatan politik dan ekonomi di zaman klasik pada wilayah Asia Tenggara. Kejayaan Sriwijaya diambil oleh Kesultanan Palembang Darusallam pada zaman madya sebagai kesultanan yang disegani dikawasan Nusantara
1256976844.jpgSriwijaya, ibarat juga bentuk-bentuk pemerintahan di Asia Tenggara lainnya pada kurun waktu itu, bentuknya dikenal sebagai Port-polity. Pengertian Port-polity secara sederhana bermula sebagai sebuah sentra redistribusi, yang secara perlahan-lahan mengambil alih sejumlah bentuk peningkatan kemajuan yang terkandung di dalam spektrum luas. Pusat pertumbuhan dari sebuah Polity yakni entreport yang menghasilkan aksesori bagi kekayaan dan kontak-kontak kebudayaan. Hasil-hasil ini diperoleh oleh para pemimpin setempat. (dalam istilah Sriwijaya sebutannya yakni datu), dengan hasil ini merupakan basis untuk penggunaan kekuatan ekonomi dan penguasaan politik di Asia Tenggara.
Ada goresan pena menarik dari kronik Cina Chu-Fan-Chi yang ditulis oleh Chau Ju-Kua pada masa ke 14, menceritakan ihwal Sriwijaya sebagai berikut :Negara ini terletak di Laut selatan, menguasai kemudian lintas perdagangan asing di Selat. Pada zaman dahulu pelabuhannya memakai rantai besi untuk menahan bajak-bajak bahari yang bermaksud jahat. Jika ada perahu-perahu asing datang, rantai itu diturunkan. Setelah keadaan kondusif kembali, rantai itu disingkirkan. Perahu-perahu yang lewat tanpa singgah dipelabuhan dikepung oleh perahu-perahu milik kerajaan dan diserang. Semua awak-awak bahtera tersebut berani mati. Itulah sebabnya maka negara itu menjadi sentra pelayaran.
Tentunya banyak lagi cerita, legenda bahkan mitos ihwal Sriwijaya. Pelaut-pelaut Cina asing ibarat Cina, Arab dan Parsi, mencatat seluruh perisitiwa kapanpun kisah-kisah yang mereka lihat dan dengan. Jika pelaut-pelaut Arab dan Parsi, menggambarkan keadaan sungai Musi, dimana Palembang terletak, yakni bagaikan kota di Tiggris. Kota Palembang digambarkan mereka yakni kota yang sangat besar, dimana kalau dimasuki kota tersebut, kokok ayam jantan tidak berhenti bersahut-sahutan (dalam arti kokok sang ayam mengikuti terbitnya matahari). Kisah-kisah perjalanan mereka penuh dengan keajaiban 1001 malam. Pelaut-pelaut Cina mencatat lebih realistis ihwal kota Palembang, dimana mereka melihat bagaimana kehiduapan penduduk kota yang hidup diatas rakit-rakit tanpa dipungut pajak. Sedangkan bagi pemimpin hidup berumah ditanah kering diatas rumah yang bertiang. Mereka mengeja nama Palembang sesuai dengan pengecap dan huruf mereka. Palembang disebut atau diucapkan mereka sebagai Po-lin-fong atau Ku-kang (berarti pelabuhan lama).Setelah mengalami kejayaan diabad-abad ke-7 dan 9, maka dikurun masa ke-12 Sriwijaya mengalami keruntuhan secara perlahan-lahan. Keruntuhan Sriwijaya ini, baik lantaran persaingan dengan kerajaan di Jawa, pertempuran dengan kerajaan Cola dari India dan terakhir kejatuhan ini tak terelakkan sesudah bangkitnya bangkitnya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara. Kerajaan-kerajaan Islam yang tadinya merupakan bagian-bagian kecil dari kerajaan Sriwijaya, berubah menjadi kerajaan besar ibarat yang ada di Aceh dan Semenanjung Malaysia.
Sumber:
http://infokito.wordpress.com/2007/07/15/mengenal-kota-palembang/
http://www.palembang.go.id/?nmodul=halaman&judul=sejarah&bhsnyo=id
http://karimsh.multiply.com/journal/item/77?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem
Related Posts